“…Dia berjalan memasuki kantin
dengan senyumanyaa…”
“Rasanya, saat itu titik
gravitasi terlalu posesif terhadap kakiku, hingga aku tak bisa bergerak dari
tempatku berdiri. Terpaku.”
“Jantungku berdetak lebih cepat.
Tapi itu bukan perasaan suka apalagi cinta. Aku yakin itu.”
Siang itu,
seperti biasanya, aku mendatangi kantin kampus untuk mengisi kebutuhan perutku
yang sejak tadi terus berbunyi tak karuan. Aku melihat sekilas deretan stan
makanan di sana. “Naahh.. ketemu.. sudah lama aku tidak merasakan makanan
bersaus kacang ini.” Aku mendatangi
abang-abang yang jualan di salah satu stan itu untuk memesan gado-gado. Setelah
mendapatkan makanan yang kupesan dan membayarnya, aku pun menuju salah satu meja
makan yang ada disana.
Entah kenapa,
siang itu aku merasa suasana kantin terasa semakin berisik dan menganggu
ketenangan makanku. Aku pun merogoh ke dalam saku rok ku dan mengeluarkan
handsfree dan menyambungkannya dengan smartphone ku. Setelah memilih lagu, aku
melanjutkan makanku kembali.
Dan kemudian
pria itu muncul lagi.
Pria dengan
cupcake-nya, barang dagangannya.
Aku terbengong
untuk beberapa saat. Dia berjalan dengan
senyumnya itu memasuki kantin dan melewati kerumunan mahasiswi alay yang ribut
karena gak dapat tempat makan. Tanpa
kusadari, aku menjatuhkan sendok makanku.
“Oh... God…
Kau lagi?”
***
Masih di
kantin, selesai makan, aku mencoba mengingat kembali pria itu. Aku tidak ingat
persis kapan aku bertemu pria itu untuk pertama kalinya. Tapi yang kuingat,
saat itu aku sedang membaca mading di taman fakultas. Sekilas aku merasa ada
seseorang yang akan menghampiriku. Benar saja, dia menghampiriku dan berkata,
“Mbak.. mau kuenya?”. Aku yang saat itu sedang puasa tentu saja menolaknya. Dia
pun tersenyum dan kemudian berlalu dari hadapanku. Aku pun kembali melanjutkan
membaca madingnya.
2 detik
kemudian, dengan refleks aku menolehkan kepalaku hanya untuk sekadar melihat
dia yang berjalan semakin menjauh. Entah kenapa, saat itu aku merasa ingin
mengikutinya, namun kurungkan karena 15 menit lagi kuliah pagi akan dimulai.
Aku bergegas menuju ruang 408. Kelasku.
***
Pertemuan
kedua dengannya benar-benar konyol.
Saat itu aku
yang sedang asyik memperhatikan kupu-kupu yang terbang di sekitar taman
fakultas dan kau pun muncul kembali di hadapanku. Menghalangi pandanganku akan
kupu-kupu itu. Lengkap dengan senyummu itu. Rasanya, saat itu titik gravitasi
terlalu posesif terhadap kakiku, hingga aku tak bisa bergerak dari tempatku
berdiri. Terpaku.
Cukup lama aku
terbengong untuk beberapa saat, sampai akhirnya…
“Karna
malam ini… Saat yang terindah bagi hidupku…Oh Tuhan, Jangan Hilangkan Dia… Dari
hidupku selamanya…” (*)
Oh, sial.
Refleks, aku memencet tombol stop untuk lagu di Mp3Player itu. Aku merutuki
diriku sendiri. Lagu yang salah di waktu
yang salah. Ini masih siang bolong. Eh
tapi tunggu, Kenapa tiba-tiba aku baru menyadari kalau aku sedang memutar
sebuah lagu? Rasanya, seperti dari tadi aku tidak mendengarkan lagu apapun dan
baru mendengar lagu yang ini. Seperti lagu yang tiba-tiba datang menyambutnya.
Kenapa aku seperti ini? Mengapa aku selalu penasaran pada pria ini?
***
Selesai kuliah
sore, seperti biasanya aku melangkahkan kakiku menuju masjid untuk menunaikan
shalat ashar. Kebiasaanku yang selalu menundukkan kepala saat jalan membuatku
kaget saat aku mengangkat kepalaku dan melihatmu sedang duduk di di selasar
luar masjid. Sambil berjalan melewatimu, sekilas kulihat dirimu sibuk dengan
sesuatu, tapi aku mengabaikannya dan langsung menuju ke dalam masjid.
Dan ternyata,
aku masih menemukanmu di selasar luar masjid itu. Jantungku berdetak lebih
cepat. Tapi itu bukan perasaan suka apalagi cinta. Aku yakin itu. Perlahan, aku
berjalan dan duduk sejauh 200 meter darinya. Ternyata, sesuatu yang tadi
kuperhatikan itu adalah segepok uang.
Kulihat, ia sedang sibuk menghitung uang nya itu. Kutebak uang itu adalah hasil
dari jualan cupcake-nya itu. Tanpa sadar, aku tersenyum melihatnya dan kembali
mengarahkan pandanganku ke depan jalan.
Tuhan,
aku tahu. Aku seringkali mengabaikan setiap karunia-Mu padaku. Tapi, betapa
agungnya engkau, Tuhanku, yang selalu mengingatkanku agar tidak terlalu lama
mengabaikan-Mu.
Tuhan,
detik ini, aku masih berterima kasih padamu. Engkau tidak menambahkan kesulitan
ekonomi sebagai beban pikiranku setiap hari. Aku cukup beruntung dengan
keadaanku saat ini.
Sekali
lagi Tuhan. Sekali lagi. Engkau menyadarkanku bahwa masih banyak orang-orang
yang lebih tidak beruntung dariku.
Tuhan.
Maafkan aku.
Kliniingg…
Sebuah pesan
masuk. Dari Mbak Leisya.
“Mbak,
aku udah sampai di kampus. Agak cepet ya kesini. Takut diusir satpam. Hehehe..”
Lagi-lagi aku
tersenyum.
“Iya mbak, aku
segera ke sana. Tunggu ya.”
Aku bangkit
dari tempat dudukku, kemudian memakai sepatu ku. Aku pun menoleh kembali
padanya. Aaahh.. masih sibuk dengan
uangnya. Dia tidak tersenyum saat ini. Aku merengut. Ya sudahlah. Setengah
berlari aku menghampiri Mbak Leisya yang menungguku untuk dijemput.
Tuhan.
Terimakasih untuk hari ini.
***
Bersambung.
Yahh.. bersambung.. Ceritanya sampai disini. Yahh.. karena memang tadi adalah
pertemuan terakhir ku dengannya. Aku tidak tahu kapan dia akan terlihat lagi
olehku. Bahkan aku pun masih belum bisa mendefinisikan dengan tepat apa sebenarnya yang kurasakan pada pria itu.
Oh iya
terimakasih kepada kamu, iyaa…kamu.. sang inspirator ku dalam menulis kisah
ini. Kamu, yang bahkan aku pun tak tahu siapa namamu, asalmu, apalagi prodi
kuliahmu. Aaahh,, memikirkannya kembali membuat hatiku menghangat kembali.
Tak tahulah..
yang jelas kisah ini kuakhiri…
*THE END*
Note: (*) Lagu
Rossa-Jangan Hilangkan Dia